Niat yang Lurus, Hati yang Bersih

Sumber foto: galeri foto pribadi

Niat yang Lurus, Hati yang Bersih

Oleh: Lujeng Kiki Lutfiyah


Menghafal Al-Qur'an adalah pilihanku, saat itu mungkin bisa dibilang sebagai pilihan terakhirku! Sebab keinginanku untuk kuliah tidak bisa tercapai. Namun, seiring berjalannya waktu ... aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik yang juga telah Allah pilihkan untukku. Bahkan belum setahun, aku telah merasakan ada perubahan baik dalam diriku, sesuatu yang dulunya terasa asing dan sangat tidak mungkin, saat ini menjadi yang paling dekat denganku.


Ya ... dialah Al-Qur'an.


Saat ini aku menghafalkan Al-Qur'an di pondok pesantren Sohibul Qur'an, di tempat ini aku baru memulai untuk belajar tahsin (membaguskan bacaan Al-Qur'an), lanjut menghafal Al-Qur'an bukan hanya sekadar ziyadah (menambah hafalan), tetapi harus mutqin (kuat hafalannya) dan tahsin (bagus bacaannya).


Kami dilatih, dibimbing untuk mempunyai hafalan yang berkualitas secara tahsin (bagus) dan kemutqinannya (kuat). Bukan hanya setoran hafalan baru saja, tetapi juga murojaah (mengulang-ngulang hafalan); siang, malam, sendiri, berpasangan, gabungan. Ada pula agenda ujian setiap 1 juz selesai disetorkan, diberikan pertanyaan oleh ustazah yang menyimak. Spesial lagi, mentasmi'kan hafalan kami, yang sudah didapatkan per 1 juz, 3 juz, 5 juz, 10 juz, dst.


Ini adalah pengalaman baru bagiku, karena dulu ketika SMA aku hanya sekadar setor hafalan, bahkan tidak memperdulikan kabar hafalanku yang lalu-lalu. Setiap hari aku hanya setor 1 halaman, tujuanku supaya lebih mutqin. Tapi jika boleh jujur, karena ada alasan lain yaitu rasa malas yang selalu aku hindari tetapi juga selalu aku turuti. setiap pekan Umi Fitri (pengasuh pondok)  menasihati kami-para santri-di antara nasihatnya adalah: "Musuh utama aktivitas berinteraksi dengan Al-Qur'an adalah diri sendiri; malas, bosan, capek, ngantuk dan lain sebagainya."


Maafkan aku yang dengarkan nasihat, kemudian lalai lagi ... aku sedih setoran hafalan sering tidak lancar, padahal cuma satu halaman sehari. Bahkan sempat merasa putus asa, karena hafalanku yang kacau balau. Jika aku ingin menangis selalu aku tahan dan mengatakan kepada diri sendiri; "Ini salahmu sendiri, jika ga lancar ga usah nangis, harusnya kamu jangan gini, bagaimana perasaan ustazah yang menyimak hafalanmu?!"


Hingga suatu hari, aku benar-benar merasa putus asa, karena pada hari itu aku benar-benar berusaha, tapi hasilnya tidak sesuai dengan harapanku. Lalu aku telepon ibu di rumah dan menceritakan keadaan hafalanku selama ini. Dan sebuah nasihat yang sering kudengar selama ini dari Umi, terucap juga dari ibuku, menjadi penguat bagiku: "Perbaiki lagi niatnya untuk apa ke sana (Sohibul Qur'an), untuk apa menghafal Al-Qur'an, dijaga hatinya jangan ada penyakit yang nempel disana."


Semenjak itu, ketika rasa malas muncul, selalu aku ingat nasihat tersebut, tidak kalah atau diperturutkan lagi. Berusaha melawannya semaksimal mungkin. Setiap kali telrpon, ibu selalu menanyakan; "Bagaimana hafalannya?" Hal itu sangat susah untuk kujawab, karena aku belum benar-benar mempraktikkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku selalu berusaha untuk tidak mudah meremehkan sesuatu, berupaya untuk tidak lalai, tidak mudah marah, tidak riya, atau sombong, juga kebiasaan buruk lainnya.


Semua membutuhkan usaha, kesungguhan, kesabaran, dan harus istiqomah. Bu, bersabarlah ... anakmu sedang berproses, menjadi lebih baik tentu, bersama hafalan Al-Qur'an yang kumiliki. Atas  semua yang kualami saat ini; kesulitan menghafal, lalai, atau kebiasaan buruk lainnya, maka aku harus benar-benar berusaha memperbaharui niat, membersihkan hati, memperbaiki ibadah, dan mempercantik akhlakku.

Semoga Allah ridha atas diriku ....


Jakarta, 14 Februari 2019

diedit oleh: Umi Fitri